de Bolotisasi Pemimpin

by Tjatur Prijambodo (comments: 0)

Pagi ini saya baca artikel di Koran pagi yang menulis tentang Bolot, dimana penulis menceritakan tentang gaya sebagian besar eksekutif, legislatif maupun yudikatif kita yang persis Bolot (pelawak Betawi). Tidak respon bila bicara tentang tanggung jawab, kinerja, perjuangan tapi teramat responsif bila bicara harta, tahta, wanita dan kepentingan pribadinya, sehingga terjadi bolotisasi dimana-mana. Saya tidak hendak meniru isi tulisan itu, tapi yang ingin saya sampaikan adalah bagaimana seorang Pemimpin yang ideal. Nah, syarat pertamanya adalah tidak bolot (tuli) tadi, artinya pemimpin yang mau mendengar masukan dari siapapun selama tidak bertentangan dengan norma dan aturan yang ada.

Kalau kita bicara pemimpin, tentu tidak lepas dari apa yang disebut LEADERSHIP. Sebenarnya syarat dari pemimpin yang ideal, menurut penulis ada pada rangkaian kata itu. L : Listening, seperti disebut di atas, mau mendengar dan tidak seperti Bolot. Hampir semua lini di negara tercinta ini, punya pemimpin yang seolah-olah tuli. Hujatan dari masyarakat tentang tingkah laku atau moral dari eksekutif, tidak menyurutkan langkah mereka untuk membahagiakan diri sendiri, korup, selingkuh, narkoba, kolusi dan nepotisme. Setali tiga uang dengan anggota legislatif, hampir tiap hari kita baca di media, selalu ada yang terjerat kasus. Lembaga yudikatif juga seolah-olah menjadi kepanjangan tangan mereka. So, menurut penulis sudah saatnya, dilakukan ‘pemeriksaan telinga’, barangkali memang terjadi sumbatan di telinga mereka. Apabila ditemukan gangguan, perlu dilakukan terapi medis. Tetapi bila telinganya normal, berarti ada sumbatan di hati mereka sehingga tidak mampu mendengar masukan, kritikan, atau hujatan sekalipun untuk membuatnya menjadi lebih baik. Supaya tidak mewabah maka perlu dilakukan de Bolotisasi, dengan selalu ‘memeriksakan organ telinga dan telinga hati’, sehingga muncul pejabat yang mampu menyuarakan keinginan masyarakat. Syarat kedua Empowering viewpoint, mampu memberdayakan sumber daya yang ada, artinya mengutamakan kompetensi bukan suka atau tidak suka apalagi melibatkan keluarga yang tidak tahu apa-apa. Kata Rosululloh Muhammad “ Urusan yang dikerjakan oleh orang yang tidak sesuai dengan kompetensinya, tunggu saja kehancurannya”. Anak pejabat mengerjakan proyek-proyek pemerintah dengan mendirikan perusahaan yang sebenarnya dia tidak punya secuilpun kemampuan untuk itu, hingga pada akhirnya proyek itu tidak sesuai dan hancur sebelum waktunya. Berikutnya Ambition, ambisi. Ambisi dan ambisius, jelas dua kata yang berbeda. Ambisi, artinya punya kemauan kuat untuk mencapai tujuan melalui rencana yang telah disusun rapi, sementara ambisius lebih ke arah menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan walaupun harus menggadaikan harga dirinya. Betapa banyak diantara kita yang sebenarnya punya kompetensi yang bagus, menduduki posisi yang strategis, jadi hancur berantakan karena ambisius. Ambil contoh, salah seorang cabup (calon bupati) yang kalah padahal sebelumnya pengusaha sukses, harus hancur kehidupannya bahkan menjadi ‘kurang waras’. Syarat keempat, Desire, hasrat. Punya hasrat untuk selalu berbuat sesuatu yang bermanfaat. Kata salah satu hadits “ Sebaik-baik manusia adalah yang mampu memberi manfaat bagi orang lain”. Yang jadi trend saat ini justru pandai ‘memanfaatkan’ orang lain untuk berlindung dari kesalahan yang dilakukan. Selanjutnya Example, mampu menjadi panutan bagi siapa saja yang dipimpin, bahkan jadi acuan para pejabat yang lain. Tetapi kenyataan di lapangan seringkali berbeda jauh. Bawahan yang semula tidak berani bertindak melanggar hukum, karena terlalu sering melihat atasannya berbuat demikian, menjadi punya kekuatan ekstra untuk melakukan hal yang sama, bahkan lebih parah. Mungkin ini yang disebut sebagai dosa jariyah (lawan dari amal jariyah). Ada lagi Respect, menghormati. Mampu menghormati siapapun dalam level apapun, selama itu terkait dengan kinerja dan norma. Bisa menempatkan diri, kapan sebagai pemimpin, kapan sebagai individu perorangan (mahkluk sosial). Seringkali para pemimpin kita terbalik dalam memposisikan diri. Saat sebagai pemimpin menganggap dirinya berkuasa, sehingga bisa melakukan apapun terhadap bawahannya, karena beranggapan bahwa norma itu yang berlaku. Tetapi di saat sebagai individu, yang diperhatikan hanya hasil kerja, artinya walaupun sudah di rumah, tetap saja posisi atasan bawahan ikut terbawa. Yang tak kalah penting adalah Self esteem, percaya diri. Seorang pemimpin harus punya keyakinan bahwa dia mampu menjalankan apa yang diamanahkan sehingga menuntutnya untuk selalu belajar dan belajar. Banyak pemimpin kita yang tidak yakin pada dirinya, sehingga lahirlah istilah pemimpin yang baik adalah pemimpin yang membagi habis tugas-tugas yang ada pada bawahannya, tetapi di saat menuai kesuksesan, berkoar-koar sebagai hasil ijtihadnya. Contoh yang baik adalah pejabat yang melakukan open house untuk menyerap aspirasi rakyatnya, apalagi rutin dilakukan. Hal ini hanya mampu dilakukan oleh pemimpin yang punya bekal penguasaan terhadap semua permasalahan yang ada. Rasa percaya diri ini juga harus timbul tatkala menentukan target. Dengan harapan akan memunculkan langkah-langkah strategis yang bisa diaplikasikan atau justru malah membuat semacam sistem baku untuk bisa dijalankan oleh semua orang sebagai panduan. “Apa yang ada di benak kita adalah apa yang akan terjadi”, begitu kata orang bijak. Bandingkan dengan kondisi sekarang. Pemimpin hanya meng copy - paste strategi yang ada (padahal kondisinya jauh berbeda), termasuk meng copy - paste pula kesalahan yang dilakukan pendahulunya. Dengan alasan itu pula, mereka beranggapan bahwa apa yang dilakukan tidak melanggar hukum karena sama dan sebangun dengan yang dilakukan seniornya. Selain itu diperlukan Heart, hati/jantung. Pemimpin dengan ‘hati’ inilah yang nantinya mampu memunculkan seni dalam memimpin. Seni untuk memahami ‘isi hati’ orang lain, seni dalam menentukan kebijakan, seni dalam menyelesaikan masalah dan lain-lain. Dengan ‘hati’ pula, pemimpin bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain. Kalau pemimpin merasa bahwa dia adalah jantungnya, maka kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan, tidak akan mematikan orang lain yang notabene adalah bagian dari tubuhnya. Melihat fenomena yang ada, pemimpin saat ini tidak sadar bahwa dirinya punya hati, tidak sadar bahwa dirinya menjadi jantung kehidupan. Tidak mampu lagi memainkan orkestrasi yang harmonis, tuduh sana, tuduh sini, sikut sana, sikut sini, hanya untuk membuat dirinya seolah-olah tidak bersalah. Sehingga tindakan yang dilakukan justru menyengsarakan dan tidak berpijak pada kepentingan rakyat. Initiative, di saat semua orang pasrah dengan kondisi yang ada dan hanya bisa menyalahkan orang lain. Inisiatif atau terobosan pemimpin sangat dibutuhkan untuk mendobrak kejumudan itu. Dengan berbekal potensi yang ada, pemimpin mampu membuat permasalahan yang rumit (kompleks) menjadi sederhana (bukan menyederhanakan) dan mampu memunculkan solusi. Yang terakhir Patience, kesabaran. Sabar dalam berkeinginan (punya niat yang lurus), sabar dalam berproses dan sabar dalam menerima kritik dan masukan. Banyak yang berpenampilan indah tetapi terhina, sebab dia tidak punya kesabaran, banyak orang yang merugi padahal dia punya modal, juga karena tidak sabar. Saat diangkat sebagai pemimpin, harus punya niat mengabdi dan melayani. Sabar dalam menjalankan langkah strategis yang sudah diputuskan. Tidak terburu-buru dalam memutuskan keberhasilan atau kegagalan suatu program. Proses yang baik, jauh lebih bermanfaat dari pada hasil yang gagal. Sabar dalam menerima kritik dan masukan menggambarkan kedewasaan seorang pemimpin. Tidak emosional dalam menanggapi kritik, justru menganggapnya sebagai bentuk rasa cinta. Membuka lebar pintu masukan, karena sesalah apapun masukan itu, pasti ada hal mendasar yang bisa diambil. Pemimpin yang punya LEADERSHIP, saat ini sangat dibutuhkan oleh negeri yang kaya raya ini. Semoga Pilpres (pemilihan presiden) nanti memunculkan pemimpin yang punya jiwa seperti itu. Amin.

dr. Tjatur. Prijambodo, MARS

Go back

Add a comment

You need to be logged in to add comments.